TUGAS INDIVIDU: KOLABORATIF

October 14, 2022

SOAL

  1. Buatlah Essay (Summary) dari Materi Kolaboratif! Minimal 2000 kata.
  2. Jawablah pertanyaan di bawah ini!
    1. Bagaimana penerapan Konsep Collaborative Governance dan Pendekatan Whole of Government pada Instansi saudara, apakah sudah berjalan!
    2. Berikan contoh pelaksanaan kolaborasi antar unit kerja Saudara dengan unit kerja lainnya di instansi Saudara?
    3. Jelaskan tantangan dan hambatan kolaborasi pada Instansi Saudara?
    4. Pemerintah saat ini sangat fokus pada pembangunan infrastruktur yang salah satunya adalah pembangunan Jalur Rel Kereta Api di Trans Sulawesi. Bagaimanakah langkah kolaborasi yang bisa dilakukan oleh daerah-daerah (dapat mengambil contoh 3 Kabupaten/ Kota) di area Jalur Rel kereta api tersebut guna meningkatkan ekonomi daerahnya? Jelaskan!

NB:

Buat dalam format PDF, menggunakan font Arial 12, dan 1.5 spasi

JAWAB

A. Buatlah Essay (Summary) dari Materi Kolaboratif! Minimal 2000 kata

Konsep Kolaborasi

Kolaborasi menjadi poin khusus di birokrasi pemerintah. Internalisasi materi yang ada dalam modul ini diharapkan dapat membentuk karakter ASN yang kolaboratif. Fragmentasi dan silo mentality yang menjadi image negatif dari birokrasi pemerintah pada akhirnya dapat dikikis. Birokrasi akan berdiri dengan tegak dalam menatap tantangan global.

Selain diskursus tentang definisi kolaborasi, terdapat istilah lainnya yang juga perlu dijelaskan yaitu collaborative governance. Collaborative governance mencakup kemitraan institusi pemerintah untuk pelayanan publik. Sebuah pendekatan pengambilan keputusan, tata kelola kolaboratif, serangkaian aktivitas bersama di mana mitra saling menghasilkan tujuan dan strategi dan berbagi tanggung jawab dan sumber daya.

Kolaborasi juga sering dikatakan meliputi segala aspek pengambilan keputusan, implementasi sampai evaluasi. Berbeda dengan bentuk kolaborasi lainnya atau interaksi stakeholders bahwa organisasi lain dan individu berperan sebagai bagian strategi kebijakan, collaborative governance menekankan semua aspek yang memiliki kepentingan dalam kebijakan membuat persetujuan bersama dengan “berbagi kekuatan”.

Enam kriteria penting untuk kolaborasi yaitu: 

  1. forum yang diprakarsai oleh lembaga publik atau lembaga; 
  2. peserta dalam forum termasuk aktor nonstate; 
  3. peserta terlibat langsung dalam pengambilan keputusan dan bukan hanya “dikonsultasikan” oleh agensi publik;
  4. forum secara resmi diatur dan bertemu secara kolektif; 
  5. forum ini bertujuan untuk membuat keputusan dengan konsensus (bahkan jika konsensus tidak tercapai dalam praktik), dan 
  6. fokus kolaborasi adalah kebijakan publik atau manajemen.

Tata kelola kolaboratif ada di berbagai tingkat pemerintahan, di seluruh sektor publik dan swasta, dan dalam pelayanan berbagai kebijakan. Disini tata kelola kolaboratif lebih mendalam pelibatan aktor kebijakan potensial dengan meninggalkan mestruktur kebijakan tradisional. Matarakat dan komunitas dianggap layak untuk inovasi kebijakan, komunitas yang sering kali kehilangan hak atau terisolasi dari perdebatan kebijakan didorong untuk berpartisipasi dan dihargai bahkan dipandang sebagai menambah wawasan diagnostik dan pengobatan kritis (Davies dan White 2012). Kondisi ini akan mungkin bila didukung kepemimpinan yang kuat (Weber 2009). Tapi, di sini juga, tidak sembarang gaya kepemimpinan bisa digunakan. Mereka yang memimpin harus bakat dan keterampilan yang lebih kompleks daripada mereka yang memimpin entitas top-down. “Kepemimpinan fasilitatif” mengandung perbedaan tugas dan kewajiban.

Pemimpin fasilitatif terutama mementingkan pembangunan dan pemeliharaan hubungan. Pemimpin dalam konteks kolaboratif fokus pada perekrutan perwakilan yang tepat, membantu memulihkan ketegangan yang mungkin ada di antara mitra, mempromosikan dialog yang efektif dan saling menghormati antara pemangku kepentingan dan menjaga reputasi kolaboratif di antara para peserta dan pendukungnya. Ini adalah tugas pemimpin fasilitatif, untuk menjaga legitimasi dan kredibilitas kolaboratif antara mitra. Untuk itu, pemimpin fasilitatif harus membantu mitra tidak hanya untuk merancang strategi untuk mencapai yang substantif konsensus tetapi juga untuk mengidentifikasi bagaimana mengelola kolaboratif. Peran pentingnya harus mampu klarifikatif, membangun transparansi dan menyusun strategi berkelanjutan untuk evaluasi dan menyelesaikan ketidaksesuaian di antara pemangku kepentingan. Pada collaborative governance pemilihan kepemimpinan harus tepat yang mampu membantu mengarahkan kolaboratif dengan cara yang akan mempertahankan tata kelola stuktur horizontal sambil mendorong pembangunan hubungan dan pembentukan ide. Selain itu, Kolaboratif harus memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk berkontribusi, terbuka dalam bekerja sama dalam menghasilkan nilai tambah, serta menggerakan pemanfaatan berbagai sumber daya untuk tujuan bersama.

Ratner (2012) mengungkapkan terdapat mengungkapkan tiga tahapan yang dapat dilakukan dalam melakukan assessment terhadap tata kelola kolaborasi yaitu: 

  1. mengidentifikasi permasalahan dan peluang; 
  2. merencanakan aksi kolaborasi; dan
  3. mendiskusikan strategi untuk mempengaruhi. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Ansen dan Gash 2012 p 550) menjelaskan terkait model collaborative governance. Menurutnya starting condition mempengaruhi proses kolaborasi yang terjadi, dimana proses tersebut terdiri dari membangun kepercayaan, face to face dialogue, commitment to process, pemahaman bersama, serta pengambangan outcome antara. Desain kelembagaan yang salah satunya proses transparansi serta faktor kepemimpinan juga mempengaruhi proses kolaborasi yang diharapkan menghasilkan outcome yang diharapkan. 

Whole of Government (WoG) atau Kongkretisasi Kolaborasi Pemerintahan 

1) Mengenal Whole-of-Government (WoG) 

WoG adalah sebuah pendekatan penyelenggaraan pemerintahan yang menyatukan upaya-upaya kolaboratif pemerintahan dari keseluruhan sektor dalam ruang lingkup koordinasi yang lebih luas guna mencapai tujuan-tujuan pembangunan kebijakan, manajemen program dan pelayanan publik. Oleh karenanya WoG juga dikenal sebagai pendekatan interagency, yaitu pendekatan yang melibatkan sejumlah kelembagaan yang terkait dengan urusan-urusan yang relevan. 

Pada dasarnya pendekatan WoG mencoba menjawab pertanyaan klasik mengenai koordinasi yang sulit terjadi di antara sektor atau kelembagaan sebagai akibat dari adanya fragmentasi sektor maupun eskalasi regulasi di tingkat sektor. Sehingga WoG sering kali dipandang sebagai perspektif baru dalam menerapkan dan memahami koordinasi antar sector.

2) Pengertian WoG 

WoG dipandang menunjukkan atau menjelaskan bagaimana instansi pelayanan publik bekerja lintas batas atau lintas sektor guna mencapai tujuan bersama dan sebagai respon terpadu pemerintah terhadap isu-isu tertentu. Untuk kasus Australia berfokus pada tiga hal yaitu pengembangan kebijakan, manajemen program dan pemberian layanan. 

Dari definisi ini diketahui bahwa WoG merupakan pendekatan yang menekankan aspek kebersamaan dan menghilangkan sekat-sekat sektoral yang selama ini terbangun dalam model NPM. Bentuk pendekatannya bisa dilakukan dalam pelembagaan formal atau pendekatan informal. 

Dalam pengertian USIP, WoG ditekankan pada pengintegrasian upaya-upaya kementerian atau lembaga pemerintah dalam mencapai tujuan-tujuan bersama. WoG juga dipandang sebagai bentuk kerjasama antar seluruh aktor, pemerintah dan sebaliknya. 

Pengertian dari USIP ini menunjukkan bahwa WoG tidak hanya merupakan pendekatan yang mencoba mengurangi sekat-sekat sektor, tetapi juga penekanan pada kerjasama guna mencapai tujuan-tujuan bersama. Dari dua pengertian di atas, dapat diketahui bahwa karakteristik pendekatan WoG dapat dirumuskan dalam prinsip-prinsip kolaborasi, kebersamaan, kesatuan, tujuan bersama, dan mencakup keseluruhan aktor dari seluruh sektor dalam pemerintahan. 

Dalam banyak literatur lainnya, WoG juga sering disamakan atau minimal disandingkan dengan konsep policy integration, policy coherence, cross-cutting policy-making, joinedup government, concerned decision making, policy coordination atau cross government. WoG memiliki kemiripan karakteristik dengan konsep-konsep tersebut, terutama karakteristik integrasi institusi atau penyatuan pelembagaan baik secara formal maupun informal dalam satu wadah. Ciri lainnya adalah kolaborasi yang terjadi antar sektor dalam menangani isu tertentu. Namun demikian terdapat pula perbedaannya, dan yang paling nampak adalah bahwa WoG menekankan adanya penyatuan keseluruhan (whole) elemen pemerintahan, sementara konsep-konsep tadi lebih banyak menekankan pada pencapaian tujuan, proses integrasi institusi, proses kebijakan dan lainnya, sehingga penyatuan yang terjadi hanya berlaku pada sektor-sektor tertentu saja yang dipandang relevan.

Praktik dan Aspek Normatif Kolaborasi Pemerintah

A. Panduan Perilaku Kolaboratif

Menurut Pérez López et al (2004 dalam Nugroho, 2018), organisasi yang memiliki collaborative culture indikatornya sebagai berikut:

Organisasi menganggap perubahan sebagai sesuatu yang alami dan perlu terjadi;

  1. Organisasi menganggap individu (staf) sebagai aset berharga dan membutuhkan upaya yang diperlukan untuk terus menghormati pekerjaan mereka;
  2. Organisasi memberikan perhatian yang adil bagi staf yang mau mencoba dan mengambil risiko yang wajar dalam menyelesaikan tugas mereka (bahkan ketika terjadi kesalahan);
  3. Pendapat yang berbeda didorong dan didukung dalam organisasi (universitas) Setiap kontribusi dan pendapat sangat dihargai;
  4. Masalah dalam organisasi dibahas transparan untuk menghindari konflik;
  5. Kolaborasi dan kerja tim antar divisi adalah didorong; dan
  6. Secara keseluruhan, setiap divisi memiliki kesadaran terhadap kualitas layanan yang diberikan.

Esteve et al (2013 p 20) mengungkapkan beberapa aktivitas kolaborasi antar organisasi yaitu:

  1. Kerjasama Informal;
  2. Perjanjian Bantuan Bersama;
  3. Memberikan Pelatihan;
  4. Menerima Pelatihan;
  5. Perencanaan Bersama;
  6. Menyediakan Peralatan;
  7. Menerima Peralatan;
  8. Memberikan Bantuan Teknis;
  9. Menerima Bantuan Teknis;
  10. Memberikan Pengelolaan Hibah; dan
  11. Menerima Pengelolaan Hibah.

Ansen dan gash (2012 p 550) mengungkapkan beberapa proses yang harus dilalui dalam menjalin kolaborasi yaitu:

  1. Trust building: membangun kepercayaan dengan stakeholder mitra kolaborasi
  2. Face tof face Dialogue: melakukan negosiasi dan baik dan bersungguh-sungguh;
  3. Komitmen terhadap proses: pengakuan saling ketergantungan; sharing ownership dalam proses; serta keterbukaan terkait keuntungan bersama;
  4. Pemahaman bersama: berkaitan dengan kejelasan misi, definisi bersama terkait permasalahan, serta mengidentifikasi nilai bersama; dan
  5. Menetapkan outcome antara.

B. Kolaboratif dalam Konteks Organisasi Pemerintah

Penelitian yang dilakukan oleh Custumato (2021) menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam kolaborasi antar lembaga pemerintah adalah kepercayaan, pembagian kekuasaan, gaya kepemimpinan, strategi manajemen dan formalisasi pada pencapaian kolaborasi yang efisien dan efektif antara entitas publik.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astari dkk (2019) menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menghambat kolaborasi antar organisasi pemerintah. Penelitian tersebut merupakan studi kasus kolaborasi antar organisasi pemerintah dalam penertiban moda transportasi di Kota Makassar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi mengalami beberapa hambatan yaitu: ketidakjelasan batasan masalah karena perbedaan pemahaman dalam kesepakatan kolaborasi. Selain itu, dasar hukum kolaborasi juga tidak jelas.

C. Beberapa Aspek Normatif Kolaborasi Pemerintahan

Berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diatur bahwa “Penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan Kewenangan lintas Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan dilaksanakan melalui kerja sama antar-Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan yang terlibat, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundangundangan”.

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diatur juga mengenai Bantuan Kedinasan yaitu kerja sama antara Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan guna kelancaran pelayanan Administrasi Pemerintahan di suatu instansi pemerintahan yang membutuhkan.

Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban memberikan Bantuan Kedinasan kepada Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan yang meminta bantuan untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan tertentu

Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan Bantuan Kedinasan kepada Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan yang meminta dengan syarat:

  1. Keputusan dan/ atau Tindakan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan yang meminta bantuan
  2. penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan karena kurangnya tenaga dan fasilitas yang dimiliki oleh Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan;
  3. dalam hal melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melaksanakannya sendiri;
  4. apabila untuk menetapkan Keputusan dan melakukan kegiatan pelayanan publik, Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan membutuhkan surat keterangan dan berbagai dokumen yang diperlukan dari Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan lainnya; dan/ atau
  5. jika penyelenggaraan pemerintahan hanya dapat dilaksanakan dengan biaya, peralatan, dan fasilitas yang besar dan tidak mampu ditanggung sendiri oleh Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan tersebut.

Dalam hal pelaksanaan Bantuan Kedinasan menimbulkan biaya, maka beban yang ditimbulkan ditetapkan bersama secara wajar oleh penerima dan pemberi bantuan dan tidak menimbulkan pembiayaan ganda. Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah biaya yang ditimbulkan sesuai kebutuhan riil dan kemampuan penerima Bantuan Kedinasan Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan dapat menolak memberikan Bantuan Kedinasan apabila:

  • mempengaruhi kinerja Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan pemberi bantuan;
  • surat keterangan dan dokumen yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan bersifat rahasia; atau
  • ketentuan peraturan perundang-undangan tidak memperbolehkan pemberian bantuan.

Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan yang menolak untuk memberikan Bantuan Kedinasan kepada Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan tersebut harus memberikan alasan penolakan secara tertulis. Penolakan Bantuan Kedinasan hanya dimungkinkan apabila pemberian bantuan tersebut akan sangat mengganggu pelaksanaan tugas Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan yang diminta bantuan, misalnya: pelaksanaan Bantuan Kedinasan yang diminta dikhawatirkan akan melebihi anggaran yang dimiliki, keterbatasan sumber daya manusia, mengganggu pencapaian tujuan, dan kinerja Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan. 

Jika suatu Bantuan Kedinasan yang diperlukan dalam keadaan darurat, maka Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan wajib memberikan Bantuan Kedinasan.

Tanggung jawab terhadap Keputusan dan/ atau Tindakan dalam Bantuan Kedinasan dibebankan kepada Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan yang membutuhkan Bantuan Kedinasan, kecuali ditentukan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan/ atau kesepakatan tertulis kedua belah pihak.

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang melaksanakan urusan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah, menyelenggarakan fungsi:

  1. kebijakan di bidangnya;
  2. koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangnya;
  3. pengelolaan barang milik/ kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; dan
  4. pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya

Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah, kementerian/ lembaga pemerintah nonkementerian berkewajiban membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk dijadikan pedoman bagi Daerah dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah dan menjadi pedoman bagi kementerian/ lembaga pemerintah nonkementerian untuk melakukan pembinaan dan pengawasan Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Bagian Ketiga Pasal 176 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren berwenang untuk:

  1. Menetapkan NSPK dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan. Penetapan NSPK ini mengacu atau mengadopsi praktik yang baik (good practices); dan 
  2. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

Kewenangan Pemerintah Pusat ini dibantu oleh kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian. Pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah nonkementerian tersebut harus dikoordinasikan dengan kementerian terkait.

Terkait kerja sama daerah, berdasarkan ketentuan Pasal 363 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diatur bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.

Kerja sama dimaksud dapat dilakukan oleh Daerah dengan:

  1. Daerah lain. Kerja sama dengan Daerah lain ini dikategorikan menjadi kerja sama wajib dan kerja sama sukarela;
  2. pihak ketiga; dan/ atau
  3. lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

B. Jawablah pertanyaan di bawah ini!

1. Bagaimana penerapan Konsep Collaborative Governance dan Pendekatan Whole of Government pada Instansi saudara, apakah sudah berjalan!

Ya, sudah berjalan. Universitas Sulawesi Barat sudah menerapkan konsep Collaborative Governance karena sudah berupaa agar bisa berkolaborasi baik dengan pemerintahan maupun dari swasta yang terdiri atas berbagai sektor mulai di bidang Peternakan, Perikanan, Teknik, Pertanian dan lain sebagainya.

2. Berikan contoh pelaksanaan kolaborasi antar unit kerja Saudara dengan unit kerja lainnya di instansi Saudara?

  1. Prodi Peternakan Fakultas Peternakan dan Perikanan Unsulbar dengan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) berkolaborasi dengan mengadakan program pertukaran pelajar dimana mahasiswa Unsulbar diberikan kesempatan belajar di UGM melalui program pertukaran pelajar.
  2. Unsulbar mendirikan Program Studi Pendidikan Dokter dimana dalam salah satu tahap proses pembukaan prodi pendidikan dokter adalah keberadaan mitra benchmark maka Unsulbar bekerja sama dengan menjadikan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar sebagai mitra benchmark.

3. Jelaskan tantangan dan hambatan kolaborasi pada Instansi Saudara?

Tantangan dalam berkolaborasi:

  • Dana dari kampus yang semakin terbatas atau berubah-ubah
  • Pendekatan dengan mitra kolaborasi yang membutuhkan waktu lama 

Hambatan dalam berkolaborasi:

  • Minimnya komunikasi sehingga mengurangi produktivitas
  • Kurangnya rasa saling percaya dengan mitra kolaborasi
  • Perbedaan pola pikir dan gaya bekerja dengan mitra kolaborasi

4. Pemerintah saat ini sangat fokus pada pembangunan infrastruktur yang salah satunya adalah pembangunan Jalur Rel Kereta Api di Trans Sulawesi. Bagaimanakah langkah kolaborasi yang bisa dilakukan oleh daerah-daerah (dapat mengambil contoh 3 Kabupaten/ Kota) di area Jalur Rel kereta api tersebut guna meningkatkan ekonomi daerahnya? Jelaskan!

  1. Adanya pembangunan infrastruktur Jalur Rel Kereta Api di Trans Sulawesi tentu akan berdampak pada beberapa titik yang dijadikan jalur rel kereta api maka pemerintah dapat merekrut pegawai maupun pekerja untuk dalam proses pembangunan relnya yang tentu akan membutuhkan banyak tenaga. Selanjutnya setelah rel kereta api sudah rampung maka akan dilanjutkan dengan pembangunan stasiun yang juga membutuhkan pekerja.
  2. Adanya stasiun kereta api nantinya juga akan membuka potensi dimana masyarakat bisa meningkatkan ekonominya dengan berjualan misalnya penjual asongan atau kaki lima di luar stasiun sekitar pintu masuk dan keluar stasiun bahkan di dalam stasiun namun biasanya masyarakat dengan ekonomi ke bawah akan memilih di luar stasiun karena pajak yang lebih tinggi dikenakan untuk penjual dalam stasiun. Sebaiknya pemerintah juga tidak memungut terlalu banyak retribusi kepada masarakat yang berjualan.
  3. Di dalam stasiun bisa dibangun toko-toko dan sebaiknya pemerintah mendahulukan toko-toko tersebut diisi oleh usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta franchise atau waralaba lokal yang ada di Sulawesi misalnya Kaku Food, Browcil, dan sebagainya.

You Might Also Like

0 komentar

Terima kasih telah mengunjungi aindhae.com. Silahkan komentar dengan bijak. No spam please!
Link error? Tell me please.

ARSIP

PART OF